PERKEMBANGAN KOMUNITAS DAYAK HINDU-BUDHA BUMI SEGANDU KABUPATEN INDRAMAYU TERHADAP KEPERCAYAAN LOKAL
Oleh:
Abdul Rojani
abdulrojani197@gmail.com
Abstrak
Keberagaman
agama di Indonesia merupakan bentuk dari pluralitas. Keadaan yang damai sering
terusik seiring perkembangan dan perubahan jaman. Nilai- nilai kultur telah bergeser
seiring masuknya budaya luar yang ikut mewarnai dinamika kehidupan Indonesia.
Banyak kekacauan yang
menodai kerukunan beragama di
Indonesia. Masyarakat Indonesia
mempunyai tradisi keberagamaan
yang sangat plural. Tidak hanya agama mainstream yang terlembaga, tapi juga
kepercayaan lokal. Kajian ini terkait dengan perkembangan paham keagamaan lokal
yang disebut Dayak Hindu-Buddha Bumi Segandhu di Indramayu, Jawa Barat.
Komunitas tersebut hingga kini masih eksis, meskipun senantiasa mengalami berbagai
tantangan. Tantangan untuk mempertahankan identitas dan ajaran, serta tantangan
untuk tetap bertahan di tengah situasi sosial yang terus berubah. Karena itu,
sebagaimana sistem kerpercayaan yang lain, komunitas-komunitas ini terus
melakukan resistensi dan negosiasi agar keberadaannya mempunyai relevansi
dengan situasi sosial.
Kata Kunci:
Keberagaman, Kepercayaan Lokal, Pluralitas. Situasi sosial.
Abstract
Religious diversity
in Indonesia is a form of plurality. Peaceful circumstances are often disturbed
as the times change and change. Cultural values have shifted as the influx of
foreign cultures contributes to the dynamics of Indonesian life. A lot of chaos
that tarnished religious harmony in Indonesia. Indonesian society has a very
pluralistic religious tradition. Not only mainstream religion is
institutionalized, but also local belief. This study is linked to the
development of a local religious understanding called the Hindu-Buddhist Earth
Day Segandhu in Indramayu, West Java. The community still exists, although it
always faces many challenges. The challenge of maintaining identity and
teaching, as well as the challenge of staying afloat in a changing social
situation. Therefore, as with other belief systems, these communities continue
to resist and negotiate in order for their existence to be relevant to the
social situation.
Keywords: Diversity, Local Trust,
Plurality. Social situation.
PENDAHULUAN
Negara
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman budaya dan masyarakat
yang plural. Setiap daerah mempunyai ciri khas kebudayaan masing-masing sesuai
dengan letak geografisnya. Salah satu di antaranya adalah Kabupaten Indramayu.
Kabupaten Indramayu merupakan salah satu daerah yang terletak di pantai utara
Provinsi Jawa Barat. Posisinya yang berbatasan antara dua wilayah yang memiliki
corak kebudayaan berbeda, menyebabkan Indramayu sangat unik bila dibandingkan
dengan daerah lain yang termasuk ke dalam Provinsi Jawa Barat.
Indramayu memiliki adat dan kebudayaan yang beragam Begitu pun dengan upacara adat atau
tradisional yang masih perlu digali nilai-nilai budayanya dan menjadi tradisi
yang kuat, yang dilakukan oleh masyarakat. Upacara adat atau tradisional
merupakan salah satu bentuk ungkapan budaya yang saat ini masih dipertahankan.
Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 32 ayat (1) yang berbunyi: “Negara memajukan
kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban
dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya.”Hal ini menunjukkan bahwa kita harus menghormati dan
menghargai budaya suatu daerah salah satunya adalah upacara tradisional
sebagai cerminan penghargaan terhadap
kebudayaan bangsa. Dengan dilestarikannya suatu tradisi generasi penerus dapat
mengetahui warisan budaya nenek moyangnya.
Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa
kebudayaan merupakan sesuatu hal yang sangat berharga yang tercipta dari suatu
sistem nilai-nilai luhur yang berkembang di masyarakat. Nilai-nilai luhur
inilah yang dijadikan bahan ntuk menciptakan kebudayaan melalui suatu proses
belajar. Dalam menerapkan nilai-nilai luhur yang ada dalam kebudayaan,
masyarakat menyalurkannya dalam bentuk kegiatan yaitu upacara adat. Upacara
tradisional/adat, menurut Wanganea dkk (1985:2) mengungkapkan sebagai berikut.
“Upacara tradisional/adat adalah kegiatan sosialisasi dimana rasa keterlibatan
bersama dari para warga masyarakat pendukungnya, mendorong mereka untuk
mengambil peranan dalam hal ini mempertebal rasa solidaritas kelompok.” Salah
satu nilai kearifan lokal yang terdapat di Kabupaten Indramayu adalah
masyarakat Dayak Bumi Segandu. Masyarakat Dayak Bumi Segandu merupakan sebuah
komunitas di mana dalam komunitas tersebut dikepalai seorang kepala suku/adat.
Banyak keunikan yang terjadi dalam kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh
masyarakat Dayak Bumi Segandu.
Keberagaman upacara tradisonal/adat merupakan salah
satu contoh sistem kepercayaan di Indonesia yang begitu pluralitas. Keadaan yang damai sering terusik
seiring perkembangan dan perubahan. Nilai-nilai kultur telah bergeser
seiring masuknya budaya luar yang ikut mewarnai dinamika kehidupan Indonesia. Banyak kekacauan yang
menodai kerukunan
keragama di Indonesia. Masyarakat Indonesia mempunyai tradisi keberagamaan yang sangat
plural. Tidak hanya agama
mainstream yang terlembaga, tapi
juga kepercayaan lokal.
Kepercayaan lokal dengan system ajaran, tradisi, pengikut merupakan sesuatu
yang hidup dalam masyarakat, bahkan
jauh sebelum
negara
Indonesia ada.
Dalam sejarahnya yang panjang, keberadaan pengikut kepercayaan lokal
seringkali tidak
bisa mendefinisikan dirinya sendiri. Karena itu, eksistensi
mereka sering
didefinisikan
orang lain
dengan menggunakan perspektif keagamaannya sendiri. Dari sinilah
komunitas pengikut kepercayaan
lokal menjadi gagap dengan dirinya sendiri. Hal
demikian mempersulit posisi komunitas pengikut kepercayaan lokal.
Mereka tidak
memperoleh pelayanan dari negara. Sebab, yang kemudian
dilayani hanyalah Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konfusius (Konghucu). (Anas Saidi;2005:6).
Meskipun tampak stagnan, namun komunitas pengikut kepercayaan
lokal
sebenarnya mengalami
perkembangan, pasang surut. Hal itu
terkait dengan adanya
perubahan-perubahan
di dalam dirinya
sendiri, maupun perubahan yang diakibatkan karena
adanya perkembangan di sekitarnya.
Faktor politik juga seringkali turut mempengaruhi perubahan-perubahan tersebut. Kajian ini erkait dengan
perkembangan paham keagamaan lokal (ajaran) yang disebut
Dayak
Hindu-Buddha Bumi Segandhu
di Indramayu, Jawa Barat. Komunitas tersebut hingga kini masih eksis, meskipun
senantiasa mengalami berbagai tantangan. Tantangan untuk mempertahankan
identitas dan ajaran,
serta
tantangan untuk tetap
bertahan di tengah situasi sosial yang terus berubah. Karena itu, sebagaimana sistem kerpercayaan yang lain, komunitas-komunitas ini terus melakukan resistensi dan negosiasi agar keberadaannya mempunyai relevansi dengan situasi sosial.
RUMUSAN MASALAH
Penelitian ini difokuskan pada komunitas Dayak Hindu Buddha
Bumi Segandu yang setia dengan kepercayaan lokalnya untuk mengetahui
kontinuitas dan perubahannya, serta kebijakan politik pemerintah. Dari fokus
tersebut, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:Bagaimana
perkembangan kepercayaan lokal, baik menyangkut perkembangan paham dan
keyakinan, pengikut, organisasi maupun tradisi.
TEORI YANG DIGUNAKAN
Dalam kaitan dengan komunitas
penghayat kepercayaan lokal, perspektif multikulturalisme lebih menjanjikan
untuk melihat dan memperlakukan komunitas penganut paham keagamaan lokal secara
adil.
Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar
kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat
dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks
pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi
yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat
disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan
sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme
menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai
multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang
mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan
hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan
minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu
produktivitas.
KERANGKA
PEMIKIRAN
Bikhu Parekh (1999), proponen teori
multikulturalisme, memberi tiga kerangka dasar untuk menjadikan
multikulturalisme sebagai perspektif dalam melihat kehidupan manusia. Pertama,
manusia senantiasa terikat secara kultural (culturally embedded) yang
mempengaruhi sistem pemaknaan dan tingkah laku. Tapi ini tidak berarti manusia sepenuhnya
terbelenggu dan tidak bisa mengembangkan pemikiran kritis, mengevaluasi nilai dan
system makna. Kedua, budaya yang berbeda merepresentasi sistem makna dan visi
kehidupan yang baik, yang berlainan. Karena masing-masing
menyadari keterbatasannya untuk menangkap totalitas eksistensi manusia, maka ia
membutuhkan budaya-budaya lain yang membantu untuk memahami diri dan lingkungannya secara lebih
baik. Ketiga, setiap budaya (dan sistem keyakinannya) secara internal
bersifat plural, dan merefleksikan dialog yang kontinum diantara
tradisi dan pemikiran yang berbeda. Karena itu, identitas budaya
pada dasarnya plural, cair dan
terbuka. Setiap budaya membawa
bagian-bagian dari budaya lain di dalam dirinya dan tidak pernah benar-benar
sui generis.
PEMBAHASAN
Asal Usul Penamaan
Menurut
penjelasan warga komuntas ini, penamaan Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu
mengandung makna sebagai berikut: Kata suku berarti kaki, yang mengandung makna
bahwa setiap manusia berjalan dan berdiri di atas kaki masing-masing untuk
mencapai tujuan sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan masing-masing. Kata
dayak berasal dari kata ”ayak” atau ”ngayak” yang artinya memilih atau
menyaring, dalam arti menyaring dan memilah dan memilih mana yang benar dan
mana yang salah. ”Hindu” artinya kandungan atau rahim. Filosofinya bahwa setiap
manusia dilahirkan dari kandungan sang ibu (perempuan). Sedangkan kata Budha
asal dari kata ”wuda” yang artinya telanjang, maksudnya setiap manusia
dilahirkan dalam keadaan telanjang. Selanjutnya kata ”Bumi Segandu Indramayu”.
”Bumi” mengandung makna wujud, sedangkan ”segandu” bermakna sekujur badan.
”Bumi Segandu” bermakna sebagai kekuatan hidup. Adapun kata ”Indramayu” mengandung pengertian ”In” maknanya inti, ”darma” artinya orang
tua, dan kata ”ayu” artinya perempuan. Makna filosofinya bahwa ibu (perempuan)
merupakan sumber hidup, karena dari rahimnya-lah kita semua dilahirkan. Itulah
sebabnya mereka sangat menghormati kaum perempuan, yang tercermin dalam ajaran
dan kehidupan mereka sehari-hari. ( Toto Sucipto; Ibid, hal 3-4)
Pemimpin
komunitas ini menjelaskan, meskipun mereka menggunakan kata ”Hindu dan Budha”
bukan berarti mereka penganut agama Hindu atau Budha. Penggunaan kata Hindu karena
komunitas ini meneladani kehidupan kelima tokoh Pendawa yang terdiri atas:
Yudistira, Bima (Wrekudara), Arjuna (Permadi), Nakula, dan Sadewa, serta tokoh
Semar yang dipandang sebagai seorang guru yang sangat bijaksana. Adapun
penyebutan kata ”Budha” karena mereka mengambil inti ajaran ”Aji Rasa” (tepuk
seliro) dan kesahajaan yang merupakan inti ajaran agama Budha. (Toto Sucipto:
Ibid, hal 5).
Ciri Khas Pengikut Takmad
Ciri khas pengikut Komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi
Segandu antara lain:
1.
Menggunakan
tutup kepala dari kukusan dicat dengan warna hitam dan putih.
2.
Berambut
panjang
3.
Tidak
mengenakan baju dan hanya mengenakan celanan pangsi warna hitam putih sebatas
betis.
4.
Mengenakan
asesoris dengan bahan dari bambu/kayu seperti kalung, gelang, ikat pinggang
besar, tasbih berisi 37 butir.
5.
Memakai
kalung dari bahan kain dengan warna hitam putih dan bandul kecil segi empat
berisi bebatuan yang menurut anggapan mereka berasal dari tempat keramat.
6.
Tidak
menggunakan alas kaki.
7.
Jika
mengendarai motor tidak menggunakan helem pengaman tetapi mengenakan tutup
kepala dari kukusan.
8.
Tidak
memiliki KTP dengan alasan bahwa ciri-ciri/ identitas mereka sudah jelas jadi
tidak perlu memiliki KTP, namun apabila Pemda mau membuatkan KTP gratis mereka
tidak keberatan. .
9.
Murid-muridnya
mayoritas laki-laki, murid perempuan mengenakan pakaian hitam-hitam dan
berpakaian biasa seperti wanita pada umumnya. (Kodim 0616, op cit, hal 6).
Konsep-Konsep Ajaran Sajarah Alam
Ngaji Rasa
Ajaran
yang dikembangkan oleh Takmad Diningrat disebut dengan Sajarah Alam Ngaji Rasa.
Sajarah adalah perjalanan hidup (awal, tengah, dan akhir) berdasarkan ucapan
dan kenyataan. Sementara ”alam” adalah sebuah ruang lingkup kehidupan atau
sebuah wadah kehidupan. Adapun ”ngaji rasa” adalah tatacara atau pola hidup
manusia yang didasari dengan adanya rasa yang sepuas mungkin harus dikaji
melalui kajian antara salah dan benar, dan dikaji berdasarkan ucapan dan
kenyataan yang sepuas mungkin harus bisa menyatu dan agar bias menghasilkan
sari atau nilai-nilai rasa manusiawi, tanpa memandang ciri hidup, karena
pandangan salah belum tentu salahnya, pandangan benar belum tentu benarnya. ”
Oleh karena itu, kami sedang belajar ngaji rasa dengan
prinsip-prinsip jangan dulu mempelajari orang lain, tapi pelajarilah diri sendiri
antara salah dengan benarnya dengan proses ujian mengabdikan diri kepada anak
dan isteri”. ( Toto Sucipto, Ibid, hal 6-7).
Konsep-konsep
ajaran ini tidak didasarkan pada kitab suci, aliran kepercayaan, agama, maupun
akar budaya tertentu. Mereka berusaha mencari pemurnian diri dengan mengambil
teladan sikap dan prilaku tokoh pewayangan Semar dan Pendawa Lima yang
dianggapnya sangat bertanggung jawab terhadap keluarga. Proses menuju pemurnian
diri, menurut Takmad melalui beberapa tahap yang harus dijalani dengan
menjauhkan diri dari keramaian dunia yang mengejar kesenangan duniawi.
Tahap-tahap tersebut adalah:
Wedi |
Sabar |
ngadirasa (ngajirasa) |
memahami |
benar-salah |
Pada awalnya, setiap manusia wedi-wedian (takut,
penakut) baik terhadap alam maupun
lingkungan masyarakatnya. Oleh karena
itu, manusia harus mengembangkan perasaan
sabar dan sumerah diri dalam arti berusaha selaras dengan alam tanpa
merusak alam. Prinsipnya adalah jangan
merusak alam apabila tidak ingin terkena
murka alam. Itulah yang disebut dengan ngaji rasa atau ngadirasa. Setelah bersatu dan selaras dengan alam,
dalam arti mengenal sifat-sifat alam,
sehingga bisa hidup dengan tenteram
dan tenang karena mendapat Lindungan dari Nur Alam (pencipta
alam), manusia akan memahami benar-salah dan selanjutnya dengan mudah akan mencapai pemurnian diri; manusia tidak
lagi memiliki kehendak duniawi. Cerminan manusia yang telah mencapai
pemurnian diri, yaitu manusia
yang telah memahami benar-salah, tampak dalam kehiduapn sehari-harinya. Manusia
yang telah mencapai
tahap tersebut, akan selalu jujur dan bertanggung jawab. (Ibid, hal 7).
Ngajirasa, ajaran yang diakui
sebagai jalan menuju
pemurnian diri, mendidik setiap pengikutnya untuk mengendalikan diri
dari ”TIGA TA” (harta, tahta, dan
wanita). Bagi para
pengikut yang telah
menikah, suami harus sepenuhnya mengabdikan diri pada keluarga. Suami tidak boleh menghardik, memarahi,
atau berlaku kasar terhadap anak isterinya. Oleh karena itu, perceraian
merupakan sesuatu yang dianggap pantang terjadi. Demikian juga, hubungan di
luar pernikahan sangat ditentang. ”Jangan coba-coba berzinah apabila tidak
ingin terkena kutuk sang guru,”demikian salah seorang pengikut Pak Takmad
mengungkapkan
Ngajirasa juga mengajarkan untuk
saling mengasihi kepada sesama umat manusia. Misalnya, menolong orang yang
sedang kesulitan walaupun berbeda kepercayaan, tidak menagihutang kepada orang
yang diberi pinjaman. Yang terbaik adalah membiarkan orang yang berutang
tersebut untuk membayar atas kesadarannya sendiri. Demikian juga dalam hal
mendidik anak, sebaiknya tidak terlalu banyak mengatur karena yang bias
mengubah sikap dan prilaku adalah dirinya sendiri, bukan orang lain. Jalan
menuju pemurnian diri juga ditunjukkan dengan hidup yang sederhana, menjauhi
keinginan mengejar kesenangan duniawi, menghilangkan perasaan dendam,
penasaran, dan iri kepada orang lain. Konsepsi tentang alam tampak dari keyakinan
bahwa dunia berasal dari bumi segandu (bumi yang bulat) bernama Indramayu. Bumi
segandu kemudian menimbulkan lahar menjadi daratan, kekayon,
dan air. Setelah itu muncul alam gaib, yang mengendalikan semua itu adalah Nur
Alam. ( Ibid, hal 8).
Ritual
Ritual
yang dijalankan oleh angggota Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu dilakukan
pada setiap Malam Jumat Kliwon,bertempat di Pendopo Nyi Ratu Kembar. Beberapa
puluh orang laki-laki bertelanjang dada dan bercelana putih-hitam, duduk
mengelilingi sebuah kolam kecil di dalam pendopo. Sementara itu kaum perempuan
duduk berselonjor di luar pendopo. Ritual diawali dengan melantunkan Kidung
Alas Turi dan Pujian Alam secara bersama-sama. Salah satu bait dari Pujian
Alam, artinya berbunyi sebagai berikut:
Ana kita ana sira,
Wijile
kita cukule sira,
Jumlae
hana pira,
Hana
lima
Ana
ne ning awake sira,
Rohbana
ya rohbana
Ra
ya rohbana
Rohbana
batin kita
Ning
dunya sabarana
Benerana,
jujurana,
Nerimana,
uripana,
Openana,
bagusana”
Artinya:
”Ada
(pada) saya ada (pada) kamu, lahirnya aku tumbuhnya kamu, jumlahnya ada berapa,
jumlahnya ada lima. Adanya di badan kita, Rohbana ya rohbana 2X, rubahnya batin
kita. Di dunia sabar, jujur, nerima, hidup, sembuh (sadar), tumbuh, dirawat,
(supaya) bagus.”
Selesai
melantunkan Kidung dan Pujian Alam, Takmad Diningrat, memberikan cerita
pewayangan tentang Kisah Pendawa Lima dan guru spritual mereka, Semar. Usai
paparan wayang, Pak Takmad memberikan petuah-petuah kepada para pengikutnya.
Paparan wayang dan petuah ini berlangsung hingga tengah malam. Usai itu, para
lelaki menuju sungai yang terletak di belakang benteng padepokan. Di sungai
dangkal itu mereka berendam dalam posisi terlentang, yang muncul hanya bagian
mukanya saja. Mereka berendam hingga matahari terbit. Ritual ini disebut
kungkum.
Siang
harinya, disaat sinar matahari sedang terik, mereka berjemur diri, yang
berlangsung dari sekitar jam 9 hingga tengah hari, ada juga yang menyebut dari
jam 12 hingga terbenam matahari. Ritual berjemur diri ini disebut pepe. Medar
(menceritakan) cerita pewayangan, kungkum (berendam), pepe ( berjemur), dan
melantunkan Kidung dan Pujian Alam, adalah kegiatan ritual mereka yang
dilakukan oleh setiap anggota kelompok ini sehari-hari. Kegiatan secara massal
hanya dilakukan pada setiap malam Jumat Kliwon. Ritual-ritual ini pada dasarnya
adalah sebagai upaya mereka menyatukan diri dengan alam, serta cara mereka
melatih kesabaran. Semua ini dilakukan tanpa ada paksaan. ”Bagi yang mampu
silakan melakukannya, tapi bagi yang tidak mampu, tidak
perlu melakukan, atau lakukan semampunya saja”, ungkapnya. (wawancara dengan
Takmad: 4-4-2011, Toto Sucipto: ibid, hal 811).
SIMPULAN
Pada
kesempatan ini hanya dilakukan analisis ringkas terhadap hasil temuan
penelitian sebagaimana diuraikan di atas.Dilihat dari dinamikanya ajaran yang
dikembangkan oleh Takmad Diningrat mengalami perkembangan, karena faktor
situasi dan kondisi pengikutnya. Pada mulanya dia mendirikan perguruan silat
yang diberi nama Padepokan Silat Serbaguna (SS). Pada
mulanya anggotanya memakai pakaian biasa saja, kemudian anggotanya harus
memakai pakaian hitam-hitam, hal ini dilakukan supaya ada identitas yang
berbeda antara perguruannya dengan perguruan lainnya. Menurut informasi
dibubarkannya Padepokan Silat Serbaguna karena ilmu yang diajarkannya, banyak
disalahgunakan oleh muridnya sehingga merusak nama baiknya, tetapi ada juga
yang menyebut karena anggotanya semakin sedikit. Kemudian dia banyak bersemedi
dan merenung, maka dikembangkannyalah ajaran yang disebutnya Sajarah Alam Ngaji
Rasa. Maka terhadap anggotanya bagi yang mau, harus memakai pakaian khusus,
yaitu celana sampai kelutut berwarna hitam dan putih yang merupakan simbol bumi
dan langit. Kemudian dikembangkan pula ritual berupa Kungkum dan Pepe, selain
itu dia juga melakukan pengobatan dan melayani permintaan seseorang tentang
sesuatu. Nampaknya hal ini menarik bagi masyarakat, sehingga jumlah anggotanya
semakin berkembang. Kebetulan dia tinggal di dekat pantai, dimana dalam
masyarakat pantai yang hidup sebagai nelayan banyak memerlukan bantuan kekuatan
supranatural dalam menghadapi dahsyatnya gelombang di laut. Nampaknya hal
inilah yang mempertemukan kebutuhan kedua pihak ini.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Geertz, Clifford, (1981), Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat
Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya.)
Noorsalim, Mashudi, M.
Nurkhoiron, Ridwan al-Makassary,(ed), (2007), Hak Minoritas, Multikulturalisme
dan Dilema Negara Bangsa, Jakarta, Interseksi Foundation.
Jurnal
Fauziah: Keluarga Harmoni Dalam Perspektif Komunitas Islam: Dalam Realitas
Perkawinan Monogami, Poligami dan Sirri di Kabupaten Indramayu, Makalah Seminar, 2011.
Komando Distrik Militer 0616; Padepokan Aliran Kepercayaan Suku Dayak
Losarang, 2007.
Dari
buku teks yang dirangkum oleh editor
Afia, Neng Darol, (Ed), (1998): Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa
Suku di Indonesia, Jakarta, Badan
Litbang Agama, Departemen Agama RI.
Mufid, A. S. (2012). Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan
Lokal di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI.
Internet
Budi Hartawan, Hubungan Komunitas Aliran Takmad Dengan Masyarakat di Krimun Losarang Indramayu, Skripsi UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta. Dayak Indramayu: Kemandirian
Pemikiran diakses pada tanggal 28 Desember 2017 dari https://budpar.go.id.
Marzuki Rais: Ketika Keyakinan Diatur Fatwa: Polemik Fatwa
Sesat MUI terhadap Suku Dayak
Indramayu diakses pada tanggal 28 Desember 2017 dari https://www.fahmina.org/fi_id/index.php?eltemid=27
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar