Selasa, 06 Oktober 2020

PERKEMBANGAN KOMUNITAS DAYAK HINDU-BUDHA BUMI SEGANDU KABUPATEN INDRAMAYU TERHADAP KEPERCAYAAN LOKAL

 PERKEMBANGAN KOMUNITAS DAYAK HINDU-BUDHA BUMI SEGANDU KABUPATEN INDRAMAYU TERHADAP KEPERCAYAAN LOKAL

 


Oleh:

Abdul Rojani

abdulrojani197@gmail.com

 

 

 

Abstrak

Keberagaman agama di Indonesia merupakan bentuk dari pluralitas. Keadaan yang damai sering terusik seiring perkembangan dan perubahan jaman. Nilai- nilai kultur telah bergeser seiring masuknya budaya luar yang ikut mewarnai dinamika kehidupan Indonesia. Banyak  kekacauan  yang  menodai  kerukunan beragama di Indonesia. Masyarakat Indonesia  mempunyai tradisi  keberagamaan yang sangat  plural. Tidak hanya  agama mainstream yang terlembaga, tapi juga kepercayaan lokal. Kajian ini terkait dengan perkembangan paham keagamaan lokal yang disebut Dayak Hindu-Buddha Bumi Segandhu di Indramayu, Jawa Barat. Komunitas tersebut hingga kini masih eksis, meskipun senantiasa mengalami berbagai tantangan. Tantangan untuk mempertahankan identitas dan ajaran, serta tantangan untuk tetap bertahan di tengah situasi sosial yang terus berubah. Karena itu, sebagaimana sistem kerpercayaan yang lain, komunitas-komunitas ini terus melakukan resistensi dan negosiasi agar keberadaannya mempunyai relevansi dengan situasi sosial.

 

Kata Kunci: Keberagaman, Kepercayaan Lokal, Pluralitas. Situasi sosial.

 

 

Abstract

Religious diversity in Indonesia is a form of plurality. Peaceful circumstances are often disturbed as the times change and change. Cultural values ​​have shifted as the influx of foreign cultures contributes to the dynamics of Indonesian life. A lot of chaos that tarnished religious harmony in Indonesia. Indonesian society has a very pluralistic religious tradition. Not only mainstream religion is institutionalized, but also local belief. This study is linked to the development of a local religious understanding called the Hindu-Buddhist Earth Day Segandhu in Indramayu, West Java. The community still exists, although it always faces many challenges. The challenge of maintaining identity and teaching, as well as the challenge of staying afloat in a changing social situation. Therefore, as with other belief systems, these communities continue to resist and negotiate in order for their existence to be relevant to the social situation.


Keywords: Diversity, Local Trust, Plurality. Social situation.

 

 

 

PENDAHULUAN

Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman budaya dan masyarakat yang plural. Setiap daerah mempunyai ciri khas kebudayaan masing-masing sesuai dengan letak geografisnya. Salah satu di antaranya adalah Kabupaten Indramayu. Kabupaten Indramayu merupakan salah satu daerah yang terletak di pantai utara Provinsi Jawa Barat. Posisinya yang berbatasan antara dua wilayah yang memiliki corak kebudayaan berbeda, menyebabkan Indramayu sangat unik bila dibandingkan dengan daerah lain yang termasuk ke dalam Provinsi Jawa Barat.  

Indramayu memiliki adat dan kebudayaan yang beragam  Begitu pun dengan upacara adat atau tradisional yang masih perlu digali nilai-nilai budayanya dan menjadi tradisi yang kuat, yang dilakukan oleh masyarakat. Upacara adat atau tradisional merupakan salah satu bentuk ungkapan budaya yang saat ini masih dipertahankan. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 32 ayat (1) yang berbunyi: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah  peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”Hal ini menunjukkan bahwa kita harus menghormati dan menghargai budaya suatu daerah salah satunya adalah upacara tradisional sebagai  cerminan penghargaan terhadap kebudayaan bangsa. Dengan dilestarikannya suatu tradisi generasi penerus dapat mengetahui warisan budaya nenek moyangnya.

Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa kebudayaan merupakan sesuatu hal yang sangat berharga yang tercipta dari suatu sistem nilai-nilai luhur yang berkembang di masyarakat. Nilai-nilai luhur inilah yang dijadikan bahan ntuk menciptakan kebudayaan melalui suatu proses belajar. Dalam menerapkan nilai-nilai luhur yang ada dalam kebudayaan, masyarakat menyalurkannya dalam bentuk kegiatan yaitu upacara adat. Upacara tradisional/adat, menurut Wanganea dkk (1985:2) mengungkapkan sebagai berikut. “Upacara tradisional/adat adalah kegiatan sosialisasi dimana rasa keterlibatan bersama dari para warga masyarakat pendukungnya, mendorong mereka untuk mengambil peranan dalam hal ini mempertebal rasa solidaritas kelompok.” Salah satu nilai kearifan lokal yang terdapat di Kabupaten Indramayu adalah masyarakat Dayak Bumi Segandu. Masyarakat Dayak Bumi Segandu merupakan sebuah komunitas di mana dalam komunitas tersebut dikepalai seorang kepala suku/adat. Banyak keunikan yang terjadi dalam kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Bumi Segandu.

Keberagaman upacara tradisonal/adat merupakan salah satu contoh  sistem kepercayaan di Indonesia yang begitu pluralitas. Keadaan yang damai sering terusik seiring perkembangan dan perubahan. Nilai-nilai kultur telah bergeser seiring masuknya budaya luar yang ikut mewarnai dinamika kehidupan Indonesia. Banyak kekacauan yang menodai kerukunan keragama di Indonesia. Masyarakat Indonesia mempunyai tradisi keberagamaan yang sangat plural. Tidak hanya agama mainstream yang terlembaga, tapi juga kepercayaan lokal. Kepercayaan lokal dengan system ajaran, tradisi, pengikut merupakan sesuatu  yang hidup  dalam masyarakat, bahkan  jauh sebelum  negara  Indonesia ada.

Dalam sejarahnya yang panjang, keberadaan pengikut kepercayaan lokal seringkali  tidak bisa mendefinisikan dirinya sendiri. Karena itu, eksistensi mereka  sering didefinisikan orang lain dengan menggunakan perspektif keagamaannya sendiri. Dari sinilah  komunitas pengikut kepercayaan  lokal menjadi gagap dengan dirinya sendiri. Hal demikian mempersulit posisi komunitas  pengikut kepercayaan   lokal.  Mereka  tidak  memperoleh  pelayanan   dari negara. Sebab, yang kemudian  dilayani hanyalah Islam, Protestan, Katolik,  Hindu,  Budha,  dan  Konfusius  (Konghucu).  (Anas Saidi;2005:6).

Meskipun tampak stagnan, namun komunitas pengikut kepercayaan  lokal sebenarnya mengalami  perkembangan, pasang surut.  Hal itu  terkait  dengan adanya   perubahan-perubahan  di dalam   dirinya  sendiri,  maupun  perubahan  yang   diakibatkan karena  adanya  perkembangan di sekitarnya.  Faktor politik juga seringkali turut mempengaruhi perubahan-perubahan tersebut. Kajian ini erkait dengan  perkembangan  paham keagamaan lokal (ajaran) yang disebut  Dayak Hindu-Buddha Bumi Segandhu  di Indramayu, Jawa Barat. Komunitas tersebut hingga kini masih eksis, meskipun  senantiasa mengalami  berbagai tantangan.  Tantangan  untuk   mempertahankan  identitas   dan ajaran,  serta  tantangan untuk  tetap   bertahan di  tengah situasi sosial yang terus berubah. Karena itu, sebagaimana sistem kerpercayaan  yang lain, komunitas-komunitas ini terus melakukan resistensi dan negosiasi agar keberadaannya mempunyai relevansi dengan situasi sosial.

 

RUMUSAN MASALAH

Penelitian ini difokuskan pada komunitas Dayak Hindu Buddha Bumi Segandu yang setia dengan kepercayaan lokalnya untuk mengetahui kontinuitas dan perubahannya, serta kebijakan politik pemerintah. Dari fokus tersebut, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:Bagaimana perkembangan kepercayaan lokal, baik menyangkut perkembangan paham dan keyakinan, pengikut, organisasi maupun tradisi.

 

TEORI YANG DIGUNAKAN

Dalam kaitan dengan komunitas penghayat kepercayaan lokal, perspektif multikulturalisme lebih menjanjikan untuk melihat dan memperlakukan komunitas penganut paham keagamaan lokal secara adil.

Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

 

KERANGKA PEMIKIRAN

Bikhu Parekh (1999), proponen teori multikulturalisme, memberi tiga kerangka dasar untuk menjadikan multikulturalisme sebagai perspektif dalam melihat kehidupan manusia. Pertama, manusia senantiasa terikat secara kultural (culturally embedded) yang mempengaruhi sistem pemaknaan dan tingkah laku. Tapi ini tidak berarti manusia sepenuhnya terbelenggu dan tidak bisa mengembangkan pemikiran kritis, mengevaluasi nilai dan system makna. Kedua, budaya yang berbeda merepresentasi sistem makna dan visi kehidupan yang baik, yang berlainan. Karena masing-masing menyadari keterbatasannya untuk menangkap totalitas eksistensi manusia, maka ia membutuhkan budaya-budaya lain yang membantu untuk  memahami diri dan lingkungannya secara lebih baik. Ketiga, setiap budaya (dan sistem keyakinannya) secara  internal  bersifat  plural, dan  merefleksikan dialog yang kontinum diantara tradisi dan pemikiran yang berbeda. Karena itu, identitas  budaya  pada  dasarnya plural, cair dan terbuka. Setiap budaya  membawa bagian-bagian dari budaya lain di dalam dirinya dan tidak pernah benar-benar sui generis.

 

PEMBAHASAN

Asal Usul Penamaan

Menurut penjelasan warga komuntas ini, penamaan Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu mengandung makna sebagai berikut: Kata suku berarti kaki, yang mengandung makna bahwa setiap manusia berjalan dan berdiri di atas kaki masing-masing untuk mencapai tujuan sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan masing-masing. Kata dayak berasal dari kata ”ayak” atau ”ngayak” yang artinya memilih atau menyaring, dalam arti menyaring dan memilah dan memilih mana yang benar dan mana yang salah. ”Hindu” artinya kandungan atau rahim. Filosofinya bahwa setiap manusia dilahirkan dari kandungan sang ibu (perempuan). Sedangkan kata Budha asal dari kata ”wuda” yang artinya telanjang, maksudnya setiap manusia dilahirkan dalam keadaan telanjang. Selanjutnya kata ”Bumi Segandu Indramayu”. ”Bumi” mengandung makna wujud, sedangkan ”segandu” bermakna sekujur badan. ”Bumi Segandu” bermakna sebagai kekuatan hidup. Adapun kata ”Indramayu” mengandung pengertian ”In” maknanya inti, ”darma” artinya orang tua, dan kata ”ayu” artinya perempuan. Makna filosofinya bahwa ibu (perempuan) merupakan sumber hidup, karena dari rahimnya-lah kita semua dilahirkan. Itulah sebabnya mereka sangat menghormati kaum perempuan, yang tercermin dalam ajaran dan kehidupan mereka sehari-hari. ( Toto Sucipto; Ibid, hal 3-4)

Pemimpin komunitas ini menjelaskan, meskipun mereka menggunakan kata ”Hindu dan Budha” bukan berarti mereka penganut agama Hindu atau Budha. Penggunaan kata Hindu karena komunitas ini meneladani kehidupan kelima tokoh Pendawa yang terdiri atas: Yudistira, Bima (Wrekudara), Arjuna (Permadi), Nakula, dan Sadewa, serta tokoh Semar yang dipandang sebagai seorang guru yang sangat bijaksana. Adapun penyebutan kata ”Budha” karena mereka mengambil inti ajaran ”Aji Rasa” (tepuk seliro) dan kesahajaan yang merupakan inti ajaran agama Budha. (Toto Sucipto: Ibid, hal 5).

Ciri Khas Pengikut Takmad

Ciri khas pengikut Komunitas Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu antara lain:

1.      Menggunakan tutup kepala dari kukusan dicat dengan warna hitam dan putih.

2.      Berambut panjang

3.      Tidak mengenakan baju dan hanya mengenakan celanan pangsi warna hitam putih sebatas betis.

4.      Mengenakan asesoris dengan bahan dari bambu/kayu seperti kalung, gelang, ikat pinggang besar, tasbih berisi 37 butir.

5.      Memakai kalung dari bahan kain dengan warna hitam putih dan bandul kecil segi empat berisi bebatuan yang menurut anggapan mereka berasal dari tempat keramat.

6.      Tidak menggunakan alas kaki.

7.      Jika mengendarai motor tidak menggunakan helem pengaman tetapi mengenakan tutup kepala dari kukusan.

8.      Tidak memiliki KTP dengan alasan bahwa ciri-ciri/ identitas mereka sudah jelas jadi tidak perlu memiliki KTP, namun apabila Pemda mau membuatkan KTP gratis mereka tidak keberatan. .

9.      Murid-muridnya mayoritas laki-laki, murid perempuan mengenakan pakaian hitam-hitam dan berpakaian biasa seperti wanita pada umumnya. (Kodim 0616, op cit, hal 6).

 

Konsep-Konsep Ajaran Sajarah Alam Ngaji Rasa

Ajaran yang dikembangkan oleh Takmad Diningrat disebut dengan Sajarah Alam Ngaji Rasa. Sajarah adalah perjalanan hidup (awal, tengah, dan akhir) berdasarkan ucapan dan kenyataan. Sementara ”alam” adalah sebuah ruang lingkup kehidupan atau sebuah wadah kehidupan. Adapun ”ngaji rasa” adalah tatacara atau pola hidup manusia yang didasari dengan adanya rasa yang sepuas mungkin harus dikaji melalui kajian antara salah dan benar, dan dikaji berdasarkan ucapan dan kenyataan yang sepuas mungkin harus bisa menyatu dan agar bias menghasilkan sari atau nilai-nilai rasa manusiawi, tanpa memandang ciri hidup, karena pandangan salah belum tentu salahnya, pandangan benar belum tentu benarnya. ” Oleh karena itu, kami sedang belajar ngaji rasa dengan prinsip-prinsip jangan dulu mempelajari orang lain, tapi pelajarilah diri sendiri antara salah dengan benarnya dengan proses ujian mengabdikan diri kepada anak dan isteri”. ( Toto Sucipto, Ibid, hal 6-7).

Konsep-konsep ajaran ini tidak didasarkan pada kitab suci, aliran kepercayaan, agama, maupun akar budaya tertentu. Mereka berusaha mencari pemurnian diri dengan mengambil teladan sikap dan prilaku tokoh pewayangan Semar dan Pendawa Lima yang dianggapnya sangat bertanggung jawab terhadap keluarga. Proses menuju pemurnian diri, menurut Takmad melalui beberapa tahap yang harus dijalani dengan menjauhkan diri dari keramaian dunia yang mengejar kesenangan duniawi. Tahap-tahap tersebut adalah:

Wedi

Sabar

ngadirasa  (ngajirasa)

memahami

benar-salah

 

Pada awalnya, setiap manusia wedi-wedian (takut, penakut) baik terhadap alam  maupun lingkungan masyarakatnya. Oleh  karena itu, manusia harus mengembangkan perasaan  sabar dan sumerah diri dalam arti berusaha selaras dengan alam tanpa merusak alam. Prinsipnya adalah jangan merusak alam apabila tidak ingin terkena  murka alam. Itulah yang disebut dengan ngaji rasa atau ngadirasa.  Setelah bersatu dan selaras dengan alam, dalam  arti mengenal sifat-sifat alam, sehingga bisa hidup  dengan tenteram dan  tenang karena  mendapat Lindungan dari Nur Alam (pencipta alam), manusia akan memahami benar-salah dan selanjutnya dengan mudah akan mencapai pemurnian diri; manusia  tidak  lagi memiliki kehendak duniawi. Cerminan manusia yang  telah mencapai pemurnian diri, yaitu  manusia yang telah memahami benar-salah, tampak dalam kehiduapn sehari-harinya. Manusia yang  telah mencapai tahap tersebut, akan selalu jujur dan bertanggung jawab. (Ibid, hal 7).

Ngajirasa, ajaran  yang diakui  sebagai  jalan  menuju  pemurnian diri, mendidik setiap pengikutnya untuk mengendalikan diri dari ”TIGA TA” (harta, tahta,  dan wanita).  Bagi  para  pengikut   yang  telah  menikah, suami harus sepenuhnya mengabdikan diri pada  keluarga. Suami tidak boleh menghardik, memarahi, atau berlaku kasar terhadap anak isterinya. Oleh karena itu, perceraian merupakan sesuatu yang dianggap pantang terjadi. Demikian juga, hubungan di luar pernikahan sangat ditentang. ”Jangan coba-coba berzinah apabila tidak ingin terkena kutuk sang guru,”demikian salah seorang pengikut Pak Takmad mengungkapkan

Ngajirasa juga mengajarkan untuk saling mengasihi kepada sesama umat manusia. Misalnya, menolong orang yang sedang kesulitan walaupun berbeda kepercayaan, tidak menagihutang kepada orang yang diberi pinjaman. Yang terbaik adalah membiarkan orang yang berutang tersebut untuk membayar atas kesadarannya sendiri. Demikian juga dalam hal mendidik anak, sebaiknya tidak terlalu banyak mengatur karena yang bias mengubah sikap dan prilaku adalah dirinya sendiri, bukan orang lain. Jalan menuju pemurnian diri juga ditunjukkan dengan hidup yang sederhana, menjauhi keinginan mengejar kesenangan duniawi, menghilangkan perasaan dendam, penasaran, dan iri kepada orang lain. Konsepsi tentang alam tampak dari keyakinan bahwa dunia berasal dari bumi segandu (bumi yang bulat) bernama Indramayu. Bumi segandu kemudian menimbulkan lahar menjadi daratan, kekayon, dan air. Setelah itu muncul alam gaib, yang mengendalikan semua itu adalah Nur Alam. ( Ibid, hal 8).

Ritual

Ritual yang dijalankan oleh angggota Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu dilakukan pada setiap Malam Jumat Kliwon,bertempat di Pendopo Nyi Ratu Kembar. Beberapa puluh orang laki-laki bertelanjang dada dan bercelana putih-hitam, duduk mengelilingi sebuah kolam kecil di dalam pendopo. Sementara itu kaum perempuan duduk berselonjor di luar pendopo. Ritual diawali dengan melantunkan Kidung Alas Turi dan Pujian Alam secara bersama-sama. Salah satu bait dari Pujian Alam, artinya berbunyi sebagai berikut:                       

Ana kita ana sira,

Wijile kita cukule sira,

Jumlae hana pira,

Hana lima

Ana ne ning awake sira,

Rohbana ya rohbana

Ra ya rohbana

Rohbana batin kita

Ning dunya sabarana

Benerana, jujurana,

Nerimana, uripana,

Warasana, cukulana,

Openana, bagusana”

Artinya:

”Ada (pada) saya ada (pada) kamu, lahirnya aku tumbuhnya kamu, jumlahnya ada berapa, jumlahnya ada lima. Adanya di badan kita, Rohbana ya rohbana 2X, rubahnya batin kita. Di dunia sabar, jujur, nerima, hidup, sembuh (sadar), tumbuh, dirawat, (supaya) bagus.”

Selesai melantunkan Kidung dan Pujian Alam, Takmad Diningrat, memberikan cerita pewayangan tentang Kisah Pendawa Lima dan guru spritual mereka, Semar. Usai paparan wayang, Pak Takmad memberikan petuah-petuah kepada para pengikutnya. Paparan wayang dan petuah ini berlangsung hingga tengah malam. Usai itu, para lelaki menuju sungai yang terletak di belakang benteng padepokan. Di sungai dangkal itu mereka berendam dalam posisi terlentang, yang muncul hanya bagian mukanya saja. Mereka berendam hingga matahari terbit. Ritual ini disebut kungkum.

Siang harinya, disaat sinar matahari sedang terik, mereka berjemur diri, yang berlangsung dari sekitar jam 9 hingga tengah hari, ada juga yang menyebut dari jam 12 hingga terbenam matahari. Ritual berjemur diri ini disebut pepe. Medar (menceritakan) cerita pewayangan, kungkum (berendam), pepe ( berjemur), dan melantunkan Kidung dan Pujian Alam, adalah kegiatan ritual mereka yang dilakukan oleh setiap anggota kelompok ini sehari-hari. Kegiatan secara massal hanya dilakukan pada setiap malam Jumat Kliwon. Ritual-ritual ini pada dasarnya adalah sebagai upaya mereka menyatukan diri dengan alam, serta cara mereka melatih kesabaran. Semua ini dilakukan tanpa ada paksaan. ”Bagi yang mampu silakan melakukannya, tapi bagi yang tidak mampu, tidak perlu melakukan, atau lakukan semampunya saja”, ungkapnya. (wawancara dengan Takmad: 4-4-2011, Toto Sucipto: ibid, hal 811).

 

SIMPULAN

Pada kesempatan ini hanya dilakukan analisis ringkas terhadap hasil temuan penelitian sebagaimana diuraikan di atas.Dilihat dari dinamikanya ajaran yang dikembangkan oleh Takmad Diningrat mengalami perkembangan, karena faktor situasi dan kondisi pengikutnya. Pada mulanya dia mendirikan perguruan silat yang diberi nama Padepokan Silat Serbaguna (SS). Pada mulanya anggotanya memakai pakaian biasa saja, kemudian anggotanya harus memakai pakaian hitam-hitam, hal ini dilakukan supaya ada identitas yang berbeda antara perguruannya dengan perguruan lainnya. Menurut informasi dibubarkannya Padepokan Silat Serbaguna karena ilmu yang diajarkannya, banyak disalahgunakan oleh muridnya sehingga merusak nama baiknya, tetapi ada juga yang menyebut karena anggotanya semakin sedikit. Kemudian dia banyak bersemedi dan merenung, maka dikembangkannyalah ajaran yang disebutnya Sajarah Alam Ngaji Rasa. Maka terhadap anggotanya bagi yang mau, harus memakai pakaian khusus, yaitu celana sampai kelutut berwarna hitam dan putih yang merupakan simbol bumi dan langit. Kemudian dikembangkan pula ritual berupa Kungkum dan Pepe, selain itu dia juga melakukan pengobatan dan melayani permintaan seseorang tentang sesuatu. Nampaknya hal ini menarik bagi masyarakat, sehingga jumlah anggotanya semakin berkembang. Kebetulan dia tinggal di dekat pantai, dimana dalam masyarakat pantai yang hidup sebagai nelayan banyak memerlukan bantuan kekuatan supranatural dalam menghadapi dahsyatnya gelombang di laut. Nampaknya hal inilah yang mempertemukan kebutuhan kedua pihak ini.

 

 

DAFTAR PUSTAKA 

Buku

 

Geertz, Clifford, (1981), Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya.)

Noorsalim, Mashudi, M. Nurkhoiron, Ridwan al-Makassary,(ed), (2007), Hak Minoritas, Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa, Jakarta, Interseksi Foundation.

 

Jurnal

Fauziah: Keluarga Harmoni Dalam Perspektif Komunitas Islam: Dalam Realitas Perkawinan Monogami, Poligami dan Sirri di Kabupaten Indramayu, Makalah Seminar, 2011.

Komando Distrik Militer 0616; Padepokan Aliran Kepercayaan Suku Dayak Losarang, 2007.

 

Dari buku teks yang dirangkum oleh editor

Afia, Neng Darol, (Ed), (1998): Tradisi dan Kepercayaan Lokal pada Beberapa Suku di Indonesia, Jakarta, Badan Litbang Agama, Departemen Agama RI.

Mufid, A. S. (2012). Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

 

Internet

 

Budi Hartawan, Hubungan Komunitas Aliran Takmad Dengan Masyarakat di Krimun Losarang Indramayu, Skripsi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Dayak Indramayu: Kemandirian Pemikiran diakses pada tanggal 28 Desember 2017 dari https://budpar.go.id.

Marzuki Rais: Ketika Keyakinan Diatur Fatwa: Polemik Fatwa Sesat MUI terhadap Suku Dayak Indramayu diakses pada tanggal 28 Desember 2017 dari https://www.fahmina.org/fi_id/index.php?eltemid=27


.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar